Perkembangan Bahasa Bayi

perkembangan, bahasa, bayi
Potensi kemampuan bahasa bayi melibatkan suatu bagian di dalam otak. Secara umum otak dibagi menjadi otak besar, otak kecil dan batang otak. Otak besar terbelah menjadi dua bagian, ini sering disebut dua hemisfer; hemisfer kanan (otak kanan) dan hemisfer kiri (otak kiri). 
Dua belahan otak ini dalam kehidupan memiliki fungsi dan peranan yang berbeda-beda. Untuk kemampuan dan perkembangan bahasa dan bicara terletak pada fungsi otak kiri. Kemampuan ini meliputi pengucapan kata dan kalimat, pengertian pembicaraan orang, mengulang kata dan kalimat di samping kemampuan berhitung, membaca dan menulis, dan sebagainya.
Kedua belahan otak kanan dan kiri dihubungkan oleh suatu jalinan serabut saraf yang disebut korpus kalosum. Setiap aktivitas belahan otak akan diketahui oleh belahan otak lainnya berkat korpus kolosum ini. Jadi sejatinya, walaupun kemampuan berbahasa dan bicara menjadi tugas belahan otak kiri, tetap ada kerjasama dengan belahan otak kanan.


Pada tahun pertama bayi sampai tahun kedua, otak kanan berkembang terlebih dahulu, setelah itu dilanjutkan dengan perkembangan otak kiri. Jadi, tidak heran pada tahun-tahun awal ini kebanyakan bayi memakai tangan kirinya untuk melakukan berbagai macam aktivitas, seperti mengambil, memegang, melambaikan tangan, memberi atau meminta. Sehubungan dengan hal ini, banyak orang tua yang belum mengetahui tahap perkembangan otak anak ini. Sehingga seringkali orang tua sedikit memaksa dan mengarahkan anak untuk memakai tangan kanan untuk melakukan berbagai aktifitas dengan alasan adat dan budaya timur yang mewajibkan menggunakan tangan kanan di setiap aktivitas karena merupakan simbol atau bentuk kesopanan. Padahal, hal ini mungkin akan menimbulkan masalah pada anak yang memang nantinya akan kidal atau lebih menggunakan bagian tubuhnya yang kiri.
Proses perkembangan otak yang paling cepat terjadi pada usia 0-5 tahun. Pada masa proses ini bayi mengembangkan kemampuan kognitifnya. Salah satunya adalah kemampuan berbahasa dan bicara. Kemampuan berbahasa ini merupakan kemampuan yang sangat penting dalam perkembangan anak, karena kemampuan ini menjadi dasar atau modal untuk kecerdasan anak. Jika kemampuan berbahasa anak tidak berkembang, maka bagaimana si anak bisa mengembangkan kemampuannya dalam membaca, berhitung, menganalisa, berinteraksi dengan lingkungan, dan lain sebagainya. Jadi, sangat beralasan bila dikatakan kemampuan berbahasa memiliki peran yang signifikan dalam kecerdasan anak.
Perkembangan bahasa sangat erat hubungannya dengan kematangan fisiologis dan perkembangan sistem syaraf dalam otak.

Kematangan fisiologis (physiological maturity)

Setiap anak bayi memang telah dibekali dengan suatu kemampuan untuk berkomunikasi maupun berbahasa sejak dari masa kandungan (innate) kemampuan tersebut tidak langsung berkembang secara sempurna, melalui proses perubahan evolutif yang cukup panjang maka dasar-dasar potensi bahasa akan berkembang secara kompleks sehingga seorang anak dapat berbahasa, berkomunikasi, berinteraksi dengan orang tua atau anak-anak lainnya.
Kematangan fisiologis tercapai dengan baik bila pertumbuhan organ-organ fisik berjalan secara normal tanpa ada gangguan –gangguan pada otak, sistem syaraf, tenggorokan, phorinck, lidah, mulut atau system pernafasan. Organ-organ tersebut sangat mendukung perkembangan kemampuan untuk berbahasa ataupun mengunggkapkan pesan-pesan komunikasi secara jelas dan dapat dipahami oleh orang lain.

Perkembangan sistem syaraf dalam otak.
 

Sistem syaraf pada janin yang masih berkembang dalam kandungan semasa pranatal tergolong sangat sederhana. Bahkan dapat dikatakan perkembangan sistem syaraf terjadi bersamaan dengan pembentukan organ-organ eksternal janin pada masa triwulan pertama. Menginjak akhir triwulan kedua proses perkembangan diferensiasi organ-organ tubuh internal maupun eksternal sudah cukup memadai sehingga organ tubuh otakpun telah terbentuk dengan baik. Oleh karena itu otak sudah mampu bekerja untuk menerima stimulus eksternal yang diberikan dari lingkungan hidupnya. Setiap stimulus eksternal yang dapat diterima, ditangkap maupun dipahami akan menjadi bahan-bahan jejak ingatan (traces of memory) dalam otak janin. Orang tua yang sering memberikan stimulus eksternal pada janin semasa dikandungan, melalui bercerita, mendongeng, menyanyi, berkomunikasi atau berbahasa, maka janin akan merasakan getaran-getaran sebagai tanda dirinya memperoleh perhatian dan kasih sayang orang tuanya. Sistem syaraf dalam otak bayi yang pernah memperoleh pengalaman berkomunikasi maupun berbahasa dengan lingkungan eksternal (orang tuanya) akan berkembang dengan baik.
 
Apa Yang Terjadi Pada Satu Tahun Pertama? 

Kemampuan berbahasa ini telah dimulai sejak masa bayi, dari kemampuan yang paling sederhana sampai pada perkembangannya yang lebih kompleks. Bahkan sebenarnya bayi sudah mengadakan interaksi atau komunikasi sejak masih berada dalam kandungan seorang ibu, biasanya komunikasi ini berbentuk tendangan atau gerakan-gerakan lain¬nya. Jadi, bayi sebenarnya dapat berkomu¬nikasi wa¬laupun bahasa yang ia gunakan ber¬beda dengan bahasa sehari-hari orang dewasa. Bahasa bayi biasanya akan lebih mudah dimengerti oleh orangtua yang mempunyai banyak waktu luang bersama bayinya. Oleh karena itu orang tua seharusnya sudah memperhatikan hal ini sedini mungkin. Jangan sekali-kali menyepelekan apa saja yang keluar dari mulut bayi, cobalah untuk memahaminya karena itu adalah sebuah bahasa yang diucapkan bayi sebagai interaksi dengan lingkungannya. 
Untuk banyak hal, sebenarnya bayi ingin menyampaikan sesuatu. Agar Anda bisa memberikan respons yang tepat akan maunya bayi, Anda harus menge¬tahui tahapan-tahapan ke¬mam¬puan bahasa bayi sehingga Anda semakin peka dan bisa menangkap pesan-pesan dari bayi. 
Walaupun tidak mudah memang untuk memahami ‘bahasa’ atau kata-kata yang diucapkan oleh bayi. Biasanya kata-kata pertama anak ber¬kembang dari kata-kata yang tak lengkap men¬jadi kata-kata yang utuh ketika dia melengkapi kata-kata itu menjadi tepat. Misalnya, ketika bayi mulai bisa mengucapkan sesuatu (fonologi), ‘ma’ menjadi ‘mama’, ‘ba’ menjadi ‘bapak’, dan banyak lagi contoh yang lainnya. 
Selanjutnya pengucapan bahasa oleh bayi semakin lama semakin banyak dan panjang dari satu kata menjadi kata-kata yang utuh, meskipun masih sering sa¬lah dan cadel yang mem¬buat orang tuanya geli. Misalnya, ia sudah bisa bilang ‘belum’, dari sebelumnya yang hanya menying¬katnya dengan ‘lum’ saja.
Penting bagi orang tua untuk memperhatikan lebih teliti apakah bayi mereka mengalami perkembangan bahasa dan bicara yang normal atau tidak, sehingga gangguan bicarapun bisa ter¬de¬teksi sejak dini. Memiliki pengetahuan ten¬tang komuni-kasi bayi akan membuat Anda mam¬pu memahami apa yang ingin disampaikan oleh bayi Anda. Pada periode awal bayi, kemampuan berkomunikasi tidak dimaksudkan sebagai kemampuan komunikasi yang berbentuk jelas mengingat kemampuan berbagai fungsi tubuh dan otak bayi masih sangat terbatas dan masih dalam proses perkembangan. Komunikasi yang dibangun bayi pada periode awal ini lebih berbentuk isyarat yang berupa suara atau tindakan yang sederhana, misalnya menangis, menendang, dan sebagainya.
 
Tahap Perkembangan Bahasa Bayi
 
Kemampuan bahasa anak mengalami berbagai perkembangan. Perkembangan tersebut berjalan melalui tahap-tahap tertentu, dimulai dari tahap di mana bayi belum bisa mengeluarkan suara dan meningkat hingga bentuk bahasa yang konvensional selayaknya bahasa yang dipakai oleh orang dewasa. Tahap-tahap perkembangan bahasa anak dibagi menjadi lima tahap, yaitu perkembangan pralinguistik, perkembangan fonologis, perkembangan semantik, perkembangan gramatik, dan perkembangan pragmatik.
Pada masa perkembangan bahasa awal, bayi belum bisa menggunakan bentuk bahasa lisan. Bahasa yang digunakan bayi bersifat reflektif dan memproduksi suara dengan cara-cara tertentu dan unik. Perkembangan yang normal ditandai dengan bayi bereaksi untuk mengamati atau bereaksi terhadap suara. Bila bayi tidak melakukan hal ini, ini merupakan indikasi untuk evaluasi fisik dan audiologi.
Ada tiga jenis bahasa yang digunakan bayi pada periode ini, yaitu tangisan (crying), ocehan (cooing), dan celoteh (babbling).

Tangisan (crying). Sebenarnya, tangisan (crying) adalah cara seorang bayi untuk berbicara atau mengungkapkan sesuatu kepada lingkungan hidupnya atau orang tuanya. Tangisan ketika bayi baru lahir merupakan ungkapan bayi untuk menunjukkan dirinya sebagai seorang makhluk individu yang terpisah dari rahim ibunya. Tangisan digunakan bayi untuk mengungkapkan kebutuhan dasarnya, seperti rasa lapar, rasa sakit, rasa lelah, atau keadaan tubuh yang tidak menyenangkan. Jadi bisa disimpulkan bahwa setiap tangisan punya makna tersendiri dan penggunaannya berbeda-beda. Pada bab selanjutnya akan dibahas tentang tangisan bayi secara lebih rinci. Berikut beberapa tipe tangisan bayi pada umumnya sesuai dengan keadaan yang dirasakan bayi:
  1. Tangisan yang melengking keras diselingi rengekan dan rintihan. Tangisan ini digunakan untuk mengekspresikan rasa sakit.
  2. Tangisan yang keras diselingi gerakan menghisap. Tangisan ini digunakan untuk mengekspresikan rasa lapar.
Jadi, perilaku menangis (cry behavior) pada bayi merupakan perilaku yang mengandung pesan secara kompleks. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa setiap bayi dapat berkomunikasi dengan cara menangis bila ia sedang menghadapi masalah dalam hidupnya, misalnya: ketika lapar, haus, mengantuk, sakit, terkejut atau mimpi buruk. Jadi setiap tangisan akan mengandung arti yang berbeda tergantung konteks waktu dan pengalaman yang dirasakan oleh masing-masing bayi.
 
Ocehan (cooing). Ocehan (cooing) adalah perilaku bayi yang ditandai dengan bayi mengeluarkan suara-suara atau bunyi-bunyi yang belum ada artinya dan disebabkan oleh mekanisme suara. Bunyi-bunyi atau suara-suara dalam ocehan bervariasi, tergantung dengan mulut dan cara bayi memodifikasi alur udara yang dikeluarkan dari paru-paru melalui pita suaranya. Bentuk ocehan misalnya mengeluh, merengek, menggeram, dan mengeluarkan kata-kata seperti: hhh... 
Hakekatnya, ocehan adalah bentuk aktivitas bermain bayi. Periode ini terjadi pada usia 3 bulan, bayi mulai bermain dengan menggunakan suara-suara ocehan tersebut. Di usia ini bayi mulai mengeluarkan suara ocehan pendek berupa suku kata (gabungan huruf mati dan huruf hidup), seperti ‘ma’, ‘da’, ‘ba’, ‘na’. Selain itu juga, bayi mulai belajar mengkomunikasikan perasaannya tidak melulu lewat tangisan. Kalau ia tak suka, misalnya, ia mengeluarkan suara seperti melenguh. Sebaliknya, jika sedang merasa senang, ocehannya bertambah keras. Bahkan akan menjerit kesenangan meski belum dengan nada tinggi. Bayi amat senang dengan bentuk komunikasi berupa ocehan ini. Jika gembira bermain, bayi akan mengeluarkan ocehan yang lebih lama dan panjang. Ocehan ini kelak akan berkembang menjadi celoteh (memadukan berbagai suku kata) dan selanjutnya menjadi kata demi kata. Perilaku ocehan bayi ini lambat laun akan menghilang digantikan dengan perkembangan ke perilaku di tahap berikutnya. Ocehan, menurut beberapa ahli, sebenarnya bukanlah sebagai bahasa karena belum memiliki arti apa-apa. Namun demikian mengoceh tetap memiliki makna bagi perkembangan bahasa bayi. Mengoceh sebagai awal perkembangan bahasa yang cukup signifikan bagi bayi di masa yang akan datang. Dengan mengoceh seorang bayi memfungsikan organ-organ tenggorokan, hidung, lidah, pernafasan untuk persiapan pembelajaran perkembangan bahasanya. Dalam tahap perkembangan berikutnya mengoceh akan berkembang menjadi kata-kata yang akan mengandung arti sehingga mengoceh akan dapat dipergunakan untuk berkomunikasi dengan orang lain.
 
Celoteh (babbling). Celoteh (babling) adalah kelanjutan dan penyempurnaan dari ocehan bayi, yaitu suatu kemampuan untuk mengucapkan kata-kata kombinasi antara vokal dan konsonan secara berulang-ulang seberti ba-ba-ba, ma-ma-ma, pa-pa-pa. Celoteh bayi diawali pada bulan kedua kehidupan dan selanjutnya semakin meningkat. Puncak peningkatan celoteh terjadi antara bulan ke 6 dan ke 8 secara perlahan celoteh akan ditinggalkan dan anak mulai belajar berbicara. Pada periode antara usia-usia tersebut, bunyi celoteh bayi mengalami perubahan dan mulai mengeluarkan konsonan, konsonan panjang dan pendek. Di usia ini bayi tidak lagi menarik perhatian dengan menangis, melainkan sudah dengan kata-kata pertama, misalnya ‘mama’, ‘mimi’, ‘maem’. Celoteh merupakan dasar bagi perkembangan berbicara bayi dan menjadi bagian dari komunikasi bayi dengan orang lain. Terbukti, ketika bayi mendapat respon terhadap celotehnya, bayi akan lebih giat berceloteh dibandingkan bila ia berceloteh sendirian. Dengan berceloteh bayi merasa menjadi bagian dari kelompok sosial karena celotehnya ditanggapi. Ini akan membuat bayi mengembangkan rasa percaya dirinya yang kelak akan sangat menentukan kemandiriannya. Pada periode ini, orangtua diharapkan memberi stimulasi yang tepat dengan lebih sering mengajak bayi bercakap-cakap dalam intonasi naik turun dan ekspresif agar mudah ditangkap. Hal ini akan sangat membantu perkembangan bahasa bayi. Kalau bayi mulai berceloteh, ia tidak sedang iseng belaka. Ia justru sedang menunjukkan kemampuannya. Dengan berceloteh berarti bayi berlatih membangun fondasi berbahasa. Berceloteh juga menunjukkan kecerdasan si kecil. Kenapa? Karena bayi harus mentransformasikan suara atau kata-kata yang didengarnya untuk diselaraskan dengan kemampuan bicaranya. Pada umur 6-12 bulan bayi dapat mengenali pola bicara orang di sekelilingnya. Bayi mampu mengenali kata-kata yang sering diucapkan ayah dan ibunya. Makin sering orang tua berbicara kepada si kecil maka semakin kaya perbendaharaan kata yang diperolehnya. Alhasil, dia akan lebih terampil berbicara pada umur 5-6 tahun. Jadi, ternyata bayi tak cuma mengingat perkataan orang di sekelilingnya tapi juga menganalisanya. Bahkan, ia memiliki kemampuan mengingat struktur percakapan orang yang sedang berbicara di sekitarnya. Celoteh, secara tidak langsung akan merangsang kecerdasan-kecerdasan lainnya, termasuk kecerdasan emosional, komunikasi, dan logika matematika. Kalau kita ingin bayi terbiasa dengan matematika, ajaklah ia berbicara mengenai konsep besar-kecil atau hitungan seperti penjumlahan dengan menggunaan alat peraga mainan. Secara otomatis hal itu menstimulasi kecerdasan matematikanya. Tentunya dengan syarat, lakukan dalam suasana bermain yang menarik dan menyenangkan.


Silahkan Baca Juga Artikel Menarik Lainnya:

0 komentar: